Amanah
Waktu terus berjalan semakin larut. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun wanita tua itu belum juga tidur. Beliau masih terjaga di depan pintu. Hatinya gelisah dan cemas. Tampaknya wanita itu telah menunggu seseorang yang belum juga datang, berulang kali dia melirik jam dinding yang berputar cepat. Hampir 2 jam usai, wanita itu tetap bertahan di depan pintu menunggu anak gadisnya pulang.
Ditengah kegelisahan yang beliau rasakan terdengar ucapan salam seorang gadis yang memasuki rumah. "Assalamualaikum, Bu" sapa gadis itu sambil mencium tangan ibunya. "Wa'alaikumsalam" jawab Bu Siti. Nisa merasa ada yang beda dari sifat ibunya malam itu. Tidak seperti biasanya, beliau bersifat dingin padanya. "Maaf Bu, Nisa terlambat" ucap Nisa lirih Bu Siti mengunci pintu tanpa menghiraukan apa yang Nisa ucapan. " Acara kampus lagi?" Tanya Bu Siti acuh. Nisa mengguk pelan. Pandangannya tertunduk menatap lantai. "Cepatlah Kamu mandi, ibu sudah siapkan air untuk mu, kalau makan ambil sendiri di dapur, dan lekas lah kau istirahat," Bu Siti meninggalkan Nisa yang terpaku di depan pintu kamar.
Iya hanya terdiam tanpa berkata apapun. Kali ini ibu bersifat acuh padanya. " Ibu, apa yang terjadi? Kenapa ibu tiba-tiba bersifat seperti itu?" Tanpa merasa nisa menangis dalam diamnya. Segera ia membersihkan diri dan bergegas ke kamarnya. Tanpak kakaknya Masih terjaga di depan komputer. Nisa melangkah pelan mendekati Hendra di ruang belajarnya. " Mas Hendra..." Sapa Nisa pelan. " Kamu sudah pulang sa? Syukur deh. Ibu menghawatirkan Kamu sejak tadi" jawab Hendra tanpa beralih dari layar komputernya". Sepertinya ibu marah kepada ku mas. Tidak seperti biasa, sifat ibu seperti acuh kepada ku. "Mana mungkin ibu Marah kepada mu, kan kamu anak kesayangan sa, mungkin hanya perasaan mu saja". Nisa terdiam.
Pikirannya terpaku pada sifat ibunya. Iya merasa harus meluruskan masalahnya itu. Dengan hati yang tekat. Iya menemui ibunya yang menjahit di kamar. "Bu...." Sapa Nisa pelan. Tak ada jawaban dari ibu Siti. Beliau tanpak mengsibukan dirinya pada jahitanya". Nisa memintak maaf jika Nisa punya salah pada ibu. Tanpa merasa air matanya menetes perlahan, ia kembali tertunduk.
Bu Siti telah menghentikan mesin jahitnya. Beliau memandang putri bungsu nya dengan baik. Tak tega Bu Siti melihat putrinya menangis. Didekapnya erat tubuh Nisa. Beliau mengusap kepala Nisa pelan. "Ibu tidak marah padam, tapi ibu hanya menghawatirkan padamu saja. Maafkan sifat ibu tadi yang membuat mu sedih, ibu hanya tidak ingin terjadi apa-apa kepadamu, melihat Kamu yang selalu pulang malam. " Maafkan Nisa yang sudah membuat ibu kawatir."
"Bukan maksud Nisa untuk berbuat demikian, tetapi kesibukan Nisa yang dikampuslah, yang tidak dapat ditinggalkan Bu. Semua karena Nisa memiliki amanah untuk menuntut Serta dalam kegiatan kampus Bu". " Iyah nak tidak apa-apa kalau gitu, ibu cuma kawatir lain kali kalau pulang malam lagi kabari ibu ya atau mas kamu, biar ibu tidak Kawatu lagi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar